BAB I
PEMBAHASAN
A.
Macam-Macam
Qira’at
- Dari segi Kuantitas
a.
Qira’ah
sab’ah (bacaan tujuh)
Yang di maksud sab’ah adalah
imam-imam yang dimaksud sab’ah adalah qira’ah yang tujuh. Mereka adalah :
·
Abdullah
bin Amir / Imam Ibnu amir
·
Abdullah
bin Katsir / Imam Ibnu Katsir
·
Abu Bakar
‘Ashim bin Abin Nuyud/Imam ‘Ashim
·
Abu Amr
bin al-‘Ala’/Imam Abu Am
·
Nafi’ bin
Nai’m/Imam Nafi’
·
Ali bin
Hamzah Al-Kisa’i/Imam Kisa’i
·
Hamzah bin
Habib/Imam Hamzah
Qira’at-qira’at ini dimasyhurkan
orang dengan nama Qira’at Saba’ah (bacaan yang tujuh). Kemudian timbul lagi
qira’at yanglain, yang qari’-qarinya ialah :
1)
Abu
Muhammad Ya’kub bin Ishaq al-Hadhrami, meninggal di Basharah tahun 225 H.
Perawi-perwarinya yang termasyhurialah Ruwais Muhammad bin Al-Mutawakkil dan
Rauf bin Abdul Mukmin.
2)
Abu
Muhammad Khalaf bin Hisyam tersebut diatas yang meninggal di Kufah tahun 229 H.
Perawi-perawinya yang termashyur ialah Ishaq al-Warraq dan Idris Al-Madda.
3)
Abu Ja’far
Yazid bin Al-Qa’qa al-Makhzumi meninggal di Madinah tahun 230 H.
Perawi-perawinya yang termasyhur ialah Ibnu Wardan dan Ibnu Jamaz.
Dengan tambahan yang tiga ini qira’at
itu menjadi sepuluh dan disebut qira’at yang sepuluh”.
Kemudian timbul lagi empat qira’at
yang lain, pula, yang qari’-qarinya ialah Muhammad bin Mahaishiz al-Maliki.
Al-A’masy al-Kufi, Al-Hasan Al-Bashri dan Yahya al-Yazidi.
Semua menjadi Qira’at yang empat
belas. Qira’at yang tujuh adalah qira’at yang mutawatir (yang diriwayatkan oleh
perawi-perawi yang banyak) dan qira’at yang tiga adalah qira’at ahad yang
diriwayatkan oleh seorang perawi. Sedangkan qira’at yang empat adalah qira’at
yang syadz lemah atau jarang.
Sebagaimana diterangkan diatas,
Al-Qur’an mula-mula ditulis tanpa titik dan baris. Namun demikian hal ini tidak
mempengaruhi pembacaan Al-Qur’an, karena para sahabat dan para tabi’in adalah
orang-orang yang fasih dalam bahasa arab. Oleh, sebab itu mereka dapat
membacanya dengan baik dan tepat. Tetapi setelah agama Islam tersiar dan banyak
bangsa yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam, sulitlah bagi mereka membaca
Al-Qur’an tanpa titik dan baris itu.
Apabila keadaan demikian dibiarkan,
dikhawatirkan bahwa hal ini akan menimbulkn kesalahan-kesalahan jalan pembacaan
Al-Qur’an.
Maka Abul Aswad Ad-Duali mengambil
inisiatif untuk memberi tanda-tanda dalam al-Qur’an dengan tinta yang berlainan
warnanya dengan tulisn Al-Qur’an. Tanda-tanda itu adalah titik di atas untuk
fathah. Titik di bawah untuk kasrh, titik di sebelah kiri atas untuk dhammah
dan dua titik untuk tanwin. Hal ini terjadi pada masa Muawiyah.
Kemudian di masa Khalifah Abdul Malik
bin Marwan. Nashir bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar menambahkan tanda-tanda untuk
huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan Al-Qur’an. Itu
adalah untuk membedakan antara maksud dari titik Abul Aswad Ad-Duali dengan
titik yang baru ini. Titik Abu Aswad adalah untuk tanda baca dan titik Nashir
bin Ashim adalah titik huruf. Cara penulisan semacam ini tetap berlaku pada
masa Bani Umaiyah, dan pada permulaan Abbasiyah, bahgkan tetap dipakai pula di
Spanyol sampai pertenganan abad ke 4 H. Kemudian ternyata bahwa cara pemberian
tanda seperti ini menimbulkan kesulitan bagi para pembaca Al-Qur’an, karena
telalu banyak titik, sedang titik itu lama kelamaan hampir menjadi serupa
warnanya.
Maka Al-Khail mengambil inisiatif,
untuk membuat tanda-tanda yang baru, yaitu huruf waw kecil ( ) di atas untuk
tanda dhommah, huruf alif kecil ( ) untuk tanda fathak, huruf ya’ kecil (untuk
tanda asroh, kepala huruf syin ( ) untuk
tanda syaddah, kepala ha ( ) untuk sukun dan kepala ain ( ) untuk hamzah.
Kemudian tanda-tanda ini dipermudah,
dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang ini.
- Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jzari,
berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam lima bagian :
a)
Qira’ah
Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir
sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’ah yang
ada masuk ke dalam bagian ini.
b)
Qira’ah
mashyur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas
mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Utsmani, masyhur
di kalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah diteapkan
Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah ang keliru dan menyimpang. Umpananya,
qira’ah dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian
perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya
tidak. Qir’ah semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qira’ah,
misalnya At-Taisi Karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syathibi, Auiyyah An-Nasy
fi Al-Qira’ah Al-Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir ditulis Ibn
Al-Jazari).
c)
Qira’at
Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf Utsmani
dan kaidah berbahasa Arab, tidak memiliki kemasyhuran, dan tidak dibaca
sebagaimana ketentuan yang telah diteapkan Al-Jazari. Al-Tirmidzi dalam kitab
Jami’nya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menempatkan qira’ah seperti ini dalam
bahasan khususnya, diantaranya riwayat yang dikeluarkan al-Hakim melalui Ashim
al-Jahdiri, dari Abu Bakrah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW membaca ayat :
tûüÏ«Å3GãB 4n?tã >$tøùu 9ôØäz AdÌs)ö7tãur 5b$|¡Ïm ÇÐÏÈ
Artinya : “Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan
permadani-permadani yang indah”. (Q.S. Ar-Rohman : 76)
d)
Qira’at
maudhu’, seperti qira’at Al-Khazzani. Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at
yang keenam, yaitu :
e)
Qira’at
yang menyerupai hadits mudraj (sispan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan
tujuan penafsiran. Umpamanya, qira’at Abi Waqqash yang :
ÿ¼ã&s!ur îr& ÷rr& ×M÷zé& اُمٍّ
Artinya : “Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja)”. (Q.S. An-Nisaa’ : 12)
B.
Urgensi
Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam Istimbat (penetapan) Hukum
- Urgensi Mempelajari Qira’at
a)
Dapat
menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakai para ulama. Misalnya,
berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang
dimaksud engan laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira’at syadz, Sa’ad
bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan min umm sehingga ayat itu
menjadi :
3
bÎ)ur c%x. ×@ã_u ß^uqã »'s#»n=2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4
Artinya : “Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta”
(Q.S. An-Nisaa’ : 12)
b) Dapat
men-tarjih hukum yang dipersliihkan para Ulama. Misalnya, dalam surat Al-Miadah
ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekakan budak.
Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini
mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz,
ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian, menjadi :
( ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) Íou|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3Î=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ãÌøtrB 7pt6s%u
مُؤْمِنَةٍ
Artinya : “Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi
Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak
mukmin”. (Q.S. Al-Maidah : 89)
c) Dapat
menggabungkan dua ketentuan hukum berbeda. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah
ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan sesual
tatkala istrinya sedang haid, seelum hadinya berakhir. Sementara qira’at yang
membacanya dengan “yuththahhima” (di dalam mushaf Utsmani tertulis “yathhuma”),
dapat dipahami bahwa seorang suami tidak
boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d) Dapat
menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 6. Ada dua bacaan mengenai
ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”.
Perbedaan qira’at ini tentu saja mengonsekuensikan kesimpulan hukum yang
berbeda.
e) Dapat
memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit
dipahami maknanya.
- Pengaruhnya dalam Istimbath (Penetapan) Hukum
Perbedaan-perbedaan qira’at terkadang berpengaruh
puladalam menetapkan ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan
pengaruh itu.
- Surat Al-Baqarah : 222 :
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri”. (Q.S. Al-Baqarah : 222)
Berkaitan dengan ayat diaas, diantara imam qira’at tujuh, yaitu Abu
Bakar Syu’bah (qira’at Ashim riwayat Sayubah), Hamzah dan Al-Kisa’I membaca
kata “yathhuma” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya
menjadi “yuththahhima”. Berdasarkan perbeda pira’at. Ulama yang membaca
“yathhuma” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan
dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari
keluarnya darah haid.
- Surat An-Nisaa’ : 43 :
4
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ
Artinya : “…….dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu
tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha
Pengampun.(Q.S. An-Nisaa : 43).
Berkaitan dengana yat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’I memendekkan
huruf lam pada kata “lamastum”, sementara imam-Imam lainnya memanjangkannya.
Bertolak dari perbedaan qira’at ini, tedapat gia versi pendapat para uolama mengenai
maksum kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan sambill bersetubuh.
Berdasarkan perbedaan qira’at itu pula, para ulama fiqih ada yang berpendapat
bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada
juga yang bependapat bahwa membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat
bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
- Surat Al-Maidah : 6 :
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki…” (Q.S. Al-Maidah : 6)
Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amr, Hafs, dan Al-Kisa’I
membacanya dengan “arjulakum, sementara imam-imam yang lain membacanya dengan
“arjulikum. Dengan membaca arjulakum, mayoritas ulama berpendapat wajibnya
membasuh kedua kaki dan tidak membaedakan engan menyapunya. Pendapat ini mereka
perkuat dengan beberapa hadis. Ulama-ulama Syi’ah Imamiyah berpegang pada
bacaan ‘arjulikum sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu.
Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibn Abbas dan Anas bin Malik.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah
diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :
1. Pengertian
Qira’at
- Menurut Az-Zarqani :
‘Suatu madzhab yang dianut seorang imam Qira’at yang berbeda dengan
lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta sepakat riwayat-riwayat dan
jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun
dalam pengucapan bentuk-bntuknya.
- Menurut Ibn Al-Jazari :
“Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan
perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
- Menurut Al-Qasthalani :
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan
ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan
washi yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
2. Latar
Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
- Latar Belakang cara
penyampaian
-
Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat
tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.
-
Perbedaan pada I’rab dan harakat kalimat
sehingga mengubah maknanya.
-
Perbedaan pada ‘irab dan harakat kalimat
sehingga mengubah makannya.
-
Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan
I’rab dan bentuk tulisannya, sementara makannya berubah.
-
Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada
bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah.
-
Perbedaan pada kalimat di mana bentuk dan
maknanya berubah pula.
- Sebab-sebab Perbeaan
Qira’at
- Perbedaan Qira’at Nabi
- Pengakuan dari Nabi
terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu
itu.
- Adanya Riwayat Dari Para
Sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
- Adanya lahjah atau
dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an.
3.
Urgensi
Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam Istimbat (penetapan) Hukum
-
Dapat
menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakai para ulama. Misalnya,
berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang
dimaksud engan laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
-
Dapat men-tarjih hukum yang dipersliihkan para
Ulama. Misalnya, dalam surat Al-Miadah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah
adalah berupa memerdekakan budak
-
Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum
berbeda. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 222, dijelaskan bahwa seorang
suami dilarang melakukan hubungan sesual tatkala istrinya sedang haid, seelum
hadinya berakhir.
-
Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang
berbeda dalam kondisi berbeda pula.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Rosikhan Anwar, M.Ag. Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Arab Saudi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar