SELAMAT DATANG di JA'FAR'S BLOG... Semoga Blog Ini Bisa Bermanfa'at Untuk Kita Semua...aamiin.... "ISLAM IS MY LIFE"
Home » » Qira'atul Qur'an

Qira'atul Qur'an

Sabtu, 24 November 2012 | 0 komentar


BAB I
PEMBAHASAN

   A.    Macam-Macam Qira’at
  1. Dari segi Kuantitas
a.       Qira’ah sab’ah (bacaan tujuh)
Yang di maksud sab’ah adalah imam-imam yang dimaksud sab’ah adalah qira’ah yang tujuh. Mereka adalah :
·         Abdullah bin Amir / Imam Ibnu amir
·         Abdullah bin Katsir / Imam Ibnu Katsir
·         Abu Bakar ‘Ashim bin Abin Nuyud/Imam ‘Ashim
·         Abu Amr bin al-‘Ala’/Imam Abu Am
·         Nafi’ bin Nai’m/Imam Nafi’
·         Ali bin Hamzah Al-Kisa’i/Imam Kisa’i
·         Hamzah bin Habib/Imam Hamzah
Qira’at-qira’at ini dimasyhurkan orang dengan nama Qira’at Saba’ah (bacaan yang tujuh). Kemudian timbul lagi qira’at yanglain, yang qari’-qarinya ialah :
1)      Abu Muhammad Ya’kub bin Ishaq al-Hadhrami, meninggal di Basharah tahun 225 H. Perawi-perwarinya yang termasyhurialah Ruwais Muhammad bin Al-Mutawakkil dan Rauf bin Abdul Mukmin.
2)      Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam tersebut diatas yang meninggal di Kufah tahun 229 H. Perawi-perawinya yang termashyur ialah Ishaq al-Warraq dan Idris Al-Madda.
3)      Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa al-Makhzumi meninggal di Madinah tahun 230 H. Perawi-perawinya yang termasyhur ialah Ibnu Wardan dan Ibnu Jamaz.
Dengan tambahan yang tiga ini qira’at itu menjadi sepuluh dan disebut qira’at yang sepuluh”.
Kemudian timbul lagi empat qira’at yang lain, pula, yang qari’-qarinya ialah Muhammad bin Mahaishiz al-Maliki. Al-A’masy al-Kufi, Al-Hasan Al-Bashri dan Yahya al-Yazidi.
Semua menjadi Qira’at yang empat belas. Qira’at yang tujuh adalah qira’at yang mutawatir (yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang banyak) dan qira’at yang tiga adalah qira’at ahad yang diriwayatkan oleh seorang perawi. Sedangkan qira’at yang empat adalah qira’at yang syadz lemah atau jarang.
Sebagaimana diterangkan diatas, Al-Qur’an mula-mula ditulis tanpa titik dan baris. Namun demikian hal ini tidak mempengaruhi pembacaan Al-Qur’an, karena para sahabat dan para tabi’in adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa arab. Oleh, sebab itu mereka dapat membacanya dengan baik dan tepat. Tetapi setelah agama Islam tersiar dan banyak bangsa yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam, sulitlah bagi mereka membaca Al-Qur’an tanpa titik dan baris itu.
Apabila keadaan demikian dibiarkan, dikhawatirkan bahwa hal ini akan menimbulkn kesalahan-kesalahan jalan pembacaan Al-Qur’an.
Maka Abul Aswad Ad-Duali mengambil inisiatif untuk memberi tanda-tanda dalam al-Qur’an dengan tinta yang berlainan warnanya dengan tulisn Al-Qur’an. Tanda-tanda itu adalah titik di atas untuk fathah. Titik di bawah untuk kasrh, titik di sebelah kiri atas untuk dhammah dan dua titik untuk tanwin. Hal ini terjadi pada masa Muawiyah.
Kemudian di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Nashir bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar menambahkan tanda-tanda untuk huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan Al-Qur’an. Itu adalah untuk membedakan antara maksud dari titik Abul Aswad Ad-Duali dengan titik yang baru ini. Titik Abu Aswad adalah untuk tanda baca dan titik Nashir bin Ashim adalah titik huruf. Cara penulisan semacam ini tetap berlaku pada masa Bani Umaiyah, dan pada permulaan Abbasiyah, bahgkan tetap dipakai pula di Spanyol sampai pertenganan abad ke 4 H. Kemudian ternyata bahwa cara pemberian tanda seperti ini menimbulkan kesulitan bagi para pembaca Al-Qur’an, karena telalu banyak titik, sedang titik itu lama kelamaan hampir menjadi serupa warnanya.
Maka Al-Khail mengambil inisiatif, untuk membuat tanda-tanda yang baru, yaitu huruf waw kecil ( ) di atas untuk tanda dhommah, huruf alif kecil ( ) untuk tanda fathak, huruf ya’ kecil (untuk tanda asroh, kepala huruf syin (  ) untuk tanda syaddah, kepala ha ( ) untuk sukun dan kepala ain ( ) untuk hamzah.
Kemudian tanda-tanda ini dipermudah, dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang ini.

  1. Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jzari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam lima bagian :
a)      Qira’ah Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’ah yang ada masuk ke dalam bagian ini.
b)      Qira’ah mashyur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Utsmani, masyhur di kalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah diteapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah ang keliru dan menyimpang. Umpananya, qira’ah dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya tidak. Qir’ah semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qira’ah, misalnya At-Taisi Karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syathibi, Auiyyah An-Nasy fi Al-Qira’ah Al-Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari).
c)      Qira’at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf Utsmani dan kaidah berbahasa Arab, tidak memiliki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah diteapkan Al-Jazari. Al-Tirmidzi dalam kitab Jami’nya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menempatkan qira’ah seperti ini dalam bahasan khususnya, diantaranya riwayat yang dikeluarkan al-Hakim melalui Ashim al-Jahdiri, dari Abu Bakrah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW membaca ayat :
tûüÏ«Å3­GãB 4n?tã >$tøùu 9ŽôØäz Ad̍s)ö7tãur 5b$|¡Ïm ÇÐÏÈ  
Artinya : “Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah”. (Q.S. Ar-Rohman : 76)

d)     Qira’at maudhu’, seperti qira’at Al-Khazzani. Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at yang keenam, yaitu :
e)      Qira’at yang menyerupai hadits mudraj (sispan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya, qira’at Abi Waqqash yang :
ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& اُمٍّ
Artinya : “Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja)”. (Q.S. An-Nisaa’ : 12)
B.     Urgensi Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam Istimbat (penetapan) Hukum
  1. Urgensi Mempelajari Qira’at
a)      Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakai para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud engan laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira’at syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan min umm sehingga ayat itu menjadi :

3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u ß^uqム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4
Artinya : “Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta” (Q.S. An-Nisaa’ : 12)
b)      Dapat men-tarjih hukum yang dipersliihkan para Ulama. Misalnya, dalam surat Al-Miadah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekakan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian, menjadi :
Ÿ( ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3ŠÎ=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ㍃̍øtrB 7pt6s%u مُؤْمِنَةٍ
Artinya : “Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak mukmin”. (Q.S. Al-Maidah : 89)
c)      Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum berbeda. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan sesual tatkala istrinya sedang haid, seelum hadinya berakhir. Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahhima” (di dalam mushaf Utsmani tertulis “yathhuma”), dapat dipahami bahwa  seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d)     Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 6. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at ini tentu saja mengonsekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e)      Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.
  1. Pengaruhnya dalam Istimbath (Penetapan) Hukum
Perbedaan-perbedaan qira’at terkadang berpengaruh puladalam menetapkan ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh itu.




  1. Surat Al-Baqarah : 222 :
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (Q.S. Al-Baqarah : 222)
Berkaitan dengan ayat diaas, diantara imam qira’at tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at Ashim riwayat Sayubah), Hamzah dan Al-Kisa’I membaca kata “yathhuma” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhima”. Berdasarkan perbeda pira’at. Ulama yang membaca “yathhuma” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid.



  1. Surat An-Nisaa’ : 43 :
4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
Artinya : “…….dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(Q.S. An-Nisaa : 43).
Berkaitan dengana yat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’I memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”, sementara imam-Imam lainnya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at ini, tedapat gia versi pendapat para uolama mengenai maksum kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan sambill bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qira’at itu pula, para ulama fiqih ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang bependapat bahwa membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.




  1. Surat Al-Maidah : 6 :
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (Q.S. Al-Maidah : 6)
Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amr, Hafs, dan Al-Kisa’I membacanya dengan “arjulakum, sementara imam-imam yang lain membacanya dengan “arjulikum. Dengan membaca arjulakum, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membaedakan engan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadis. Ulama-ulama Syi’ah Imamiyah berpegang pada bacaan ‘arjulikum sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibn Abbas dan Anas bin Malik.





BAB II
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :

1.      Pengertian Qira’at
  1. Menurut Az-Zarqani : ‘Suatu madzhab yang dianut seorang imam Qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bntuknya.
  2. Menurut Ibn Al-Jazari : “Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
  3. Menurut Al-Qasthalani : “Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washi yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
2.      Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
  1. Latar Belakang cara penyampaian
-          Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.
-          Perbedaan pada I’rab dan harakat kalimat sehingga mengubah maknanya.
-          Perbedaan pada ‘irab dan harakat kalimat sehingga mengubah makannya.
-          Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sementara makannya berubah.
-          Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah.
-          Perbedaan pada kalimat di mana bentuk dan maknanya berubah pula.
  1. Sebab-sebab Perbeaan Qira’at
  1. Perbedaan Qira’at Nabi
  2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu.
  3. Adanya Riwayat Dari Para Sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
  4. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an.

3.      Urgensi Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam Istimbat (penetapan) Hukum
-          Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakai para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud engan laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
-          Dapat men-tarjih hukum yang dipersliihkan para Ulama. Misalnya, dalam surat Al-Miadah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekakan budak
-          Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum berbeda. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan sesual tatkala istrinya sedang haid, seelum hadinya berakhir.
-          Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.



DAFTAR PUSTAKA


Dr. Rosikhan Anwar, M.Ag. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Arab Saudi.

Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Join Ya Sob....

Untuk menjalin Silaturahim diniatkan Lillaahi Ta'ala...

Salam Penulis :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Blog ini sengaja saya buat sebagai salah satu media silaturahim dan agar dapat saling bertukar fikiran (sharing) tentang ilmu yang kita miliki... Apabila terdapat kata-kata yang kasar dan terlihat kurang sopan, Saya minta ma'af yang sebesar-besarnya... semoga bermanfa'at dan kita bisa mengamalkan ilmu yang kita miliki... "Wallaahu A'lam Bish_Shawaab..." وَاَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ