SELAMAT DATANG di JA'FAR'S BLOG... Semoga Blog Ini Bisa Bermanfa'at Untuk Kita Semua...aamiin.... "ISLAM IS MY LIFE"

Translate This Blog

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate by Google ( UBLO 7 )

Postingan Ane IKi..

get this widget here

Latest Post

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Rabu, 06 Februari 2013 | 0 komentar


( وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ  )
Tahadduts bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. Namun, perintah dalam ayat ini tetap berlaku umum berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan memuji sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas pemberiannya. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi nikmat.
Berdasarkan makna ayat di atas, mayoritas ulama salaf menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah riya’, ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh seseorang.
Namun, jika dikhawatirkan akan menimbulkan rasa dengki, dan untuk menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat orang lain, maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur nikmat. Lebih tegas Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa tahadduts bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga) maupun takabbur yang sangat dibenci oleh Allah swt. seperti dalam firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Luqman: 18)
Tahadduts bin ni’mah dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya atas kenikmatan materi yang diterima seseorang. Atas kesungguhan beribadah dan taufiq untuk menjalankan amal shalih juga layak dan tidak ada salahnya untuk diceritakan dan diberitahukan kepada orang lain. Ini sebagai sebuah ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru serta dijadikan contoh. Namun, tentu kepada mereka yang diharapkan mengikuti kebaikan dan amal shalih tersebut.
Al-Hasan bin Ali mengemukakan pernyataannya tentang hal itu, “Jika engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan kebaikan, maka sebutlah dan ceritakanlah di depan saudaramu yang kamu percayai bahwa ia akan mengikuti jejak yang baik tersebut.” Kebiasaan seperti ini pernah dilakukan oleh Abu Firas, Abdullah bin Ghalib, seperti yang dituturkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Setiap kali aku bangun pagi, aku biasa menyebut amal yang aku lakukan di malam hari; aku sholat sekian, berdzikir sekian, membaca Al-Qur’an sekian dan sebagainya.” Ketika para sahabatnya mempertanyakan yang dilakukan oleh Abu Firas termasuk dalam kategori riya’, dengan tenang ia menjawab, “Allah memerintahkan dalam ayat-Nya untuk menceritakan kenikmatan, sedangkan kalian melarang untuk menyebut kenikmatan?”
Di sini sangat jelas bahwa tahadduts bin ni’mah merupakan salah satu kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dikecam oleh Allah karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya serta tidak mengakui anugerah tersebut berasal dari Allah swt. Allah berfirman, “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An-Nahl: 83).
Tentang penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan enggan mensyukuri nikmat, Allah menggambarkan akhir kehidupan mereka yang mendapat azab. “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba’: 15-17)
Dalam beberapa hadits Rasulullah dinyatakan bahwa Tahadduts dengan kenikmatan yang diraih merupakan salah satu dari impelemtasi syukur seorang hamba kepada Sang Pemberi nikmat, yaitu Allah. Dalam hal ini, At-Tirmidzi menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang diberi kebaikan (kenikmatan), hendaklah ia membalasnya; Jika ia tidak punya sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia memuji pemberinya. Karena sesungguhnya apabila ia memuji berarti ia telah mensyukuri dan berterima kasih kepadanya. Akantetapi, jika ia menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkari kebaikannya.” Dalam hadits lain dijelaskan masing-masing bentuk implementasi syukur secara lebih terperinci:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Dari An-Nu’man bin Basyir berkata, “Rasulullah saw. berkhutbah di atas mimbar menyampaikan sabdanya: ‘Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang banyak. Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah. Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur dan meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa rahmat dan bercerai-berai akan mendatangkan adzab’.” (Musnad Imam Ahmad, no. 17721)
Adalah anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk senantiasa mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah berpesan, “Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena sesungguhnya menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya.” Memang memperlihatkan kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh Allah karena Allah sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat lantas ia menampakkan atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap atau penampilan.
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Mudah-mudahan kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai kehidupan kita, mampu kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan memperbaiki semangat pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal sholeh yang diridhoiNya. Tahadduts bin ni’mah yang kita lakukan semata untuk mendapatkan perhatian Allah, bukan perhatian dan pujian dari manusia. Namun begitu, harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut semoga akan bisa membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini...
Wallahu A'lam...
Lanjut Yuuk.....

Bait ke 21-24 : Bentuk Mabni & I'rab

Minggu, 13 Januari 2013 | 0 komentar

 

Bait ke 21-22 » Bentuk Mabni.

وَكُلُّ حَـرْفٍ مُسْتَــحِقٌّ لِلْبِنَا ¤ وَالأَصْلُ فِي الْمَبْنِيِّ أَنْ يُسَكَّنَا

Semua Kalimah Huruf menghaki terhadap Mabni. Asal didalam Kemabnian adalah dihukumi Sukun.

وَمِنْهُ ذُو فَتْحٍ وَذُو كَسْرٍ وَضَمُّ ¤ كَأَيْنَ أَمْسِ حَيْثُ وَالْسَّــــاكِنُ كَمْ

Diantara bentuk Mabni adalah Mabni Fathah, Mabni Kasroh dan Mabni Dhommah. Seperti lafadz: Aina, Amsi, Haitsu, dan Mabni Sukun seperti Lafadz Kam.

Semua Kalimah Harf/Huruf (الحرف) adalah Mabni. Dalam hal ini, kemabnian kalimah huruf tidak membutuhkan terhadap pelaksanaan I’rob untuk memahami makna-makna yang terkandung daripadanya pada suatu susunan kalimat, tidak sebagaimana Kalimah Isim. Contoh:

أَخَذْتُ مِنَ الدَّرَاهِمِ

Aku telah mengambil sebagian dari Dirham-dirham itu.

Pengertian makna “sebagian” (التبعيض) dari Kalimah Huruf “Min” (من) pada contoh diatas, terfaidah tanpa membutuhkan pelaksanaan I’rob.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha.

Pengertian makna “batas permulaan” (ابتداء الغاية) pada Kalimah Huruf “Min” (من) dan pengertian makna “batas akhiran” pada Kalimah Huruf “Ila” (إلى) dalam contoh ayat diatas, terlaksana tanpa membutuhkan terhadap I’rob.
Bentuk Mabni adalah tetapnya akhir kalimah pada satu bentuk keadaan. Bentuk Mabni ada empat macam:

1. Mabni Sukun.
Mabni sukun adalah bentuk asal Mabni. Karena merupakan paling ringannya syakal. Oleh karena itu ia bisa masuk pada Kalimah Isim, Kalimah Fi’il dan Kalimah Harf/huruf. contoh: اُكْتُبْكَمْ مِنْ

سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ

Tanyakanlah kepada Bani Israil: “Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka.”

Kalimah Mabni ini tidak akan berharakah kecuali untuk mengantisipasi bertemunya dua huruf mati. Contoh:
Diberi harakah kasroh

قَالَتِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ

Berkata isteri Al Aziz.

Diberi harakah dhommah

هُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ

Mereka orang-orang yang mengatakan…

Diberi harakah fathah

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ

Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian.

2. Mabni fathah
Harkat fathah merupakan paling dekatnya harkat terhadap Sukun, oleh karena itu ia juga masuk kepada kalimah Isim, Fi’il dan Huruf. contoh: كَيْفَ – قَامَ – وَ

الآنَ خَفَّفَ اللهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.

3. Mabni Kasrah
Masuk kepada kalimah Isim dan kalimah Huruf, tidak masuk kepada kalimah Fi’il contoh:

هَا أَنْتُمْ أُولاَءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلاَ يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ

Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya.

4. Mabni Dhommah
Juga masuk kepada Kalimah Isim dan Kalimah Huruf, tidak masuk kepada Kalimah Fi’il. Seperti حَيْثُ (Kalimah Isim) dan مُنْذُ (Huruf Jarr). Sedangkan Harakah Dhommah pada akhir Kalimah Fi’il Madhi pada contoh اَلطُّلاَّبُ حَضَرُوا Bukanlah Harakah asli, namun ia adalah Harakah pengganti untuk memantaskan pada huruf Wau.
Mabni membuang Huruf Illah termasuk pada mabni sukun, karena ia pengganti dari mabni sukun.


Bait 23-24 : I'rab

وَالْرَّفْعَ وَالْنَّصْبَ اجْعَلَنْ إعْرَابَا ¤ لاسْــمٍ وَفِــعْــلٍ نَحْـوُ لَنْ أَهَـــــابَا

Jadikanlah Rofa’ dan Nashab sebagai I’rab (sama bisa) untuk Isim dan Fi’il, seperti lafadz Lan Ahaba.

وَالاسْمُ قَدْ خُصِّصَ بِالْجَرِّ كَمَا ¤ قَــدْ خُصِّصَ الْفِعْـلُ بِأَنْ يَنْـجَزِمَا

Kalimah Isim dikhususi dengan I’rab Jarr, sebagaimana juga Fi’il dikhususi dengan dii’rab Jazm.
Pengertian I’rab / I’rob (الإعراب) dalam Ilmu Nahwu adalah: Bekas secara Zhahiran atau Taqdiran yang terdapat pada akhir Kalimah disebabkan oleh pengamalan Amil. Contoh:

جَاءَ زَيْدٌ – رَأَيْتُ زَيْدًا – مَرَرْتُ بِزَيْدٍ

جَاءَ الْفَتَى – رَأَيْتُ الْفَتَى – مَرَرْتُ بِالْفَتَى

I’rob Zhahir/terang : adalah bekas akhir kalimah, tidak ada penghalang yang mencegah dalam mengucapkannya. Contoh: زَيْدٌ – زَيْدًا – زَيْدٍ pada contoh susunan kalimat diatas.
I’rab Taqdir/kira-kira : Adalah bekas akhir kalimah, terdapat penghalang yang mencegah dalam melafalkannya. Baik penghalang tersebut karena Udzur semisal جَاءَ الْفَتَى, atau karena berat semisal جَاءَ الْقَاضِيْ, atau karena demi kesesuaian semisal جَاءَ اَبِيْ.
Macam-macam I’rab ada empat:
  1. Raf’a / Rofa’ (الرفع) masuk kepada Kalimah Isim dan Kalimah Fi’il (الاسم و الفعل)
  2. Nashb / Nashob (النصب) masuk kepada Kalimah Isim dan Kalimah Fi’il (الاسم و الفعل)
  3. Jarr / jar (الجر) masuk kepada Kalimah Isim (الاسم)
  4. Jazm / Jazem (الجزم) masuk kepada Kalimah Fi’il (الفعل)

 


Lanjut Yuuk.....

Bait 19-20

Sabtu, 12 Januari 2013 | 0 komentar

 

وَفِـــعْلُ أَمْـرٍ وَمُضِيٍّ بُنِـيَا ¤ وَأَعْرَبُوا مُضَارِعَاً إنْ عَرِيَا

Fi’il Amar dan Fi’il Madhi, keduanya dihukumi Mabni. Dan mereka Ulama Nahwu sama menghukumi Mu’rab terhadap Fi’il Mudhari’ jika sepi…

مِنْ نُوْنِ تَوْكِيْدٍ مُبَاشِرٍ وَمِنْ ¤ نُوْنِ إنَــاثٍ كَيَرُعْنَ مَنْ فُـــتِنْ

…Dari Nun Taukid yang mubasyaroh (bertemu langsung) dan Nun Jamak Mu’annats, seperti lafadz: Yaru’na Man Futin.

Alfiyah Bait 19-20 :
Setelah sebelumnya menerangkan Mu’rob dan Mabni untuk Kalimah Isim, selanjutnya pada dua Bait diatas Mushannif menerangkan Mu’rob dan Mabni untuk Kalimah Fi’il.
Menurut Qaul Madzhab Bashrah, bahwa asal-asal Kalimah Isim adalah Mu’rob sedangkan asal Kalimah Fi’il adalah Mabni. Adapun menurut Qaul Madzhab Kufah, bahwa hukum Mu’rob adalah asal bagi Kalimah Isim pun juga Kalimah Fi’il. Qaul yang pertama adalah Qaul yang lebih shahih. Sedangkan nukilan Dhiyauddin Bin ‘Ilj dalam kitabnya Al-Basith mengatakan: diantara sebagian Ahli Nahwu berpendapat bahwa Mu’rob merupakan asal untuk Kalimah Fi’il, dan cabang untuk Kalimah Isim.

FI’IL MADHI

Mufakat dalam hal kemabniannya
Mabni Fathah apabila tidak bersambung dengan wau jama’ dan dhomir rofa’ mutaharrik, contoh:
Mabni Fathah Dzahiran:

جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ

Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.
Mabni Fathah Taqdiran:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya.

Mabni Dhommah jika bersambung dengan Wau Jama’ contoh:

قَالُوا سُبْحَانَكَ

Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau”
Mabni Sukun jika bersambung dengan Dhomir Rofa’ Mutaharrik (yaitu: Ta’ Fa’il, Naa Fa’il, Nun Mu’annats.) contoh:

فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ

apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil).

إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ

sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau

وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

FI’IL AMAR

Ikhtilaf dalam hal kemabniannya, Mabni menurut Ahli Nahwu Bashrah dan Mu’rob menurut Ahli Nahwu Kufah. dan yang lebih Rajih adalah hukum Mabni atas Jazmnya Fi’il Mudhari’.
Mabni Sukun apabila Shahih Akhir dan atau bersambung dengan Nun Jamak Mu’annats. contoh:

قُمْ فَأَنْذِرْ

bangunlah, lalu berilah peringatan…!

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ

dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat…!
Mabni atas membuang Nun, apabila bersambung dengan Alif Tatsniyah atau Wau Jama’ atau Ya’ Muannats Mukhathabah. contoh:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas…!

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’…!

يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ

Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’…!
Mabni Membuang Huruf Illat apabila Kalimah Fi’il Amar tsb Mu’tal Akhir. contoh:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik …!

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ

dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar …!

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللهَ

Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah …!

Mabni Fathah apabila bersambung dengan Nun Taukid. contoh:

اتركَنَّ الجدال

Sungguh tinggalkanlah! berbantah-bantahan …!

FI’IL MUDHARI’

Hukum Mu’rob untuk Kalimah Fi’il yaitu Fi’il Mudhari’, dengan syarat tidak bersambung dengan Nun Jamak Mu’annats atau Nun Taukid yang Mubasharoh (bersambung langsung).
Contoh:

اللهُ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Allah menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali; kemudian kepadaNyalah kamu dikembalikan >
Apabila bersambung dengan Nun Taukid yang Mubasyaroh (bersambung langsung), baik Nun Taukid tsb Khafifah (ringan, tanpa tasydid) atau Tsaqilah (berat, memakai tasydid) maka Fi’il Mudhari’ tsb dihukumi Mabni Fathah.
Contoh:

كَلا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ

sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah
Apabila bersambung dengan Nun Jamak Muannats, maka Fi’il Mudhari’ tsb dihukumi Mabni Sukun.
Contoh:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’
Apabila Fi’il Mudhori’ tidak bersambung secara langsung dengan Nun Taukid, seperti Fiil Mudhori’ yg bersambung dengan Alif Tatsniyah, artinya diantara Fi’il Mudhari’ dan Nun Taukid ada pemisah yaitu Alif Tatsniyah. Maka tetap dihukumi Mu’rob. tanda I’robnya sebagaimana FI’il Mudhori’ sebelum dimasuki Nun Taukid.
Contoh:

هَلْ تَذْهَبَانَّ

Apakah kamu berdua benar-benar akan pergi ?

Pada contoh ini lafadz تَذْهَبَانَّ asal lafadznya adalah تَذْهَبَانَنَّ berkumpul tiga nun, maka dibuang Nun yang pertama yaitu Nun Rofa’, alasannya berat karena tiga huruf yg sama beriringan.

وَلا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

dan janganlah sekali-kali kamu berdua mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui
Demikian juga Mu’rob, yaitu Fi’il Mudhori’ yang bersambung dengan Wau Jama’ atau Ya’ Mukhathabah karena ada pemisah antara Fi’il Mudhori’ dan Nun Taukid. contoh:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah.”

فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: Jika kamu melihat seorang manusia…
Demikianlah apa yang dimaksud dari perkataan Mushannif dalam Nadzom “…dan mereka Ulama Nahwu sama menghukumi Mu’rob terhadap Fi’il Mudhari’ apabila sepi dari Nun Taukid yang Mubasharah dan Nun Jamak Muannats…”.
Walhasil, dari apa yang tersirat dari Bait Syair Mushannif, bahwa apabila Fi’il Mudhori tidak sepi dari Nun Taukid yang Mubasharah dan Nun Jamak Muannats, maka hukumnya Mabni. Ini merupakan pendapat Madzhab Jumhur Ulama Nahwu.
Menurut Madzhab Imam Akhfasy, bahwa Fi’il Mudhori’ yg bersambung dengan Nun Taukid baik Mubasyaroh atau tidak, tetap dihukumi Mabni. dan sebagian Ulama menukil, bahwa Fi’il Mudhari’ tetap Mu’rab sekalipun bersambung dengan Nun Taukid yg Mubasharah.
Adapun Fi’il Mudhori’ yang tersambung dengan Nun Jamak Mu’annats, hukumnya Mabni tanpa khilaf, ini menurut tukilan Kiyai Mushannif pada sebagian Kitab-Kitabnya. Akan tetapi tidaklah demikian, bahkan Khilaf tetap ada dalam hal ini. sebagaimana pendapat Ulama yang ditukil oleh Ustadz Abul Hasan bin ‘Ashfur dalam Kitabnya Syarah Al-Idhah.
Lanjut Yuuk.....

Bait : 15-16-17-18 : Mabni & Mu'rab

| 0 komentar

  • Isim Mu’rob dan Isim Mabni

     

الْمُعْرَبُ وَالْمَبْنِي

BAB MU’RAB DAN MABNI

Bait 15  :

وَالاسْمُ مِنْهُ مُعْرَبٌ وَمَبْنِي ¤ لِشَبَـــهٍ مِنَ الْحُــرُوْفِ مُدْنِي

Diantaranya Kalimat Isim ada yang Mu’rab, dan ada juga yang Mabni karena keserupaan dengan kalimah Huruf secara mendekati.

Bait ini menerangkan bahwa kalimah isim terbagi menjadi:
  • Isim Mu’rob: yaitu Isim yang selamat dari keserupaan dengan Kalimat Huruf.
  • Isim Mabni: yaitu Isim yang dekatnya keserupaan dengan kalimat huruf.
Menurut pendapat Kyai Mushannif bahwa yang menjadi illat kemabnian Kalimat Isim dirumuskan menjadi “Serupa Kalimat Huruf” yang akan dijelaskan bagian-bagiannya pada dua bait berikutnya. Rumusan Mushannif ini sejalan dengan pendapat Mazhab Nahwu lain seperti Imam Abu Ali al-Farisi, juga Imam Sibawaih, bahwa Illat kemabnian kalimat Isim semuanya dikembalikan kepada “Serupa kalimat Huruf”.


Bait 16-17 :


  • Faktor Mabninya Kalimat Isim: Wadh’i, Ma’nawi, Niyabah, Iftiqoriy.


كَالْشَّبَهِ الْوَضْعِيِّ فِي اسْمَيْ جِئْتَنَا ¤ وَالْمَعْـنَـــوِيِّ فِي مَتَى وَفِي هُـــــــنَا

Seperti keserupaan bangsa “Wadh’i” di dalam dua isimnya lafadz جئتنا. Dan keserupaan bangsa “Ma’nawi” dalam contoh متى dan هنا.

وَكَنِيَابَةٍ عَنِ الْفِعْلِ بِلاَ ¤ تَأَثُّــــرٍ وَكَافْــتِقَارٍ أُصِّلا

Dan keserupaan bangsa “Niyabah” pengganti dari Fi’il tanpa pembekasan I’rob (Isim Fi’il). Dan keserupaan bangsa “Iftiqoriy” kebutuhan yang dimustikan (membutuhkan shilah) .
Bab Mu'rob dan Mabni
Disebutkan pada dua bait di atas tentang macam-macam keserupaan kalimat isim terhadap kalimat huruf yang menjadi faktor kemabnian Kalimat Isim tersebut. Segi keserupaan ini terdapat pada empat faktor:
Keserupaan pada Kalimat Huruf bangsa Wadh’i/ kondisi bentuknya:
Yaitu isim yang bentuknya serupa dengan bentuk kalimat huruf, hanya terdiri dari satu huruf misal TA’ pada lafadz ضربت. Atau hanya terdiri dari dua huruf misal NA pada lafadz أكرمنا. Sebagaimana contoh dalam Bait:

جئتنا

Engkau datang kepada kami.
TA’nya adalah Isim Fa’il dan NAnya adalah Isim Maf’ul dari Kata Kerja جَاءَ
Keserupaan pada Kalimat Huruf bangsa Ma’nawi/maknanya:
Dalam hal ini ada dua term:
(1) . Keserupaan bangsa makna yang ada padanannya, misal متى serupa maknanya dengan Kalimat Huruf Istifham (kata tanya). Atau serupa maknanya dengan Kalimat Huruf Syarat.
→ Contoh Isim Istifham:

مَتَى تَقُومُ ؟

Kapan kamu mau berdiri?

مَتى السّفرُ ؟

Kapan bepergian?

مَتَى نَصْرُ الله أَلاَ إِنَّ نَصْرَ الله قَرِيبٌ

“Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
→ Contoh Isim Syarat:

مَتَى تَقُمْ أَقُمْ

Bilamana kamu berdiri, niscaya aku ikut berdiri.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
(2). Keserupaan bangsa Ma’nawi yang dikira-kira, karena tidak ada padanannya. Misal هنا artinya: disini (kata tunjuk sesuatu/Isim Isyarah) serupa maknanya dengan Kalimat Huruf secara dikira-kira karena tidak ada contoh kalimat huruf padanannya. Namun demikian, Isim isyarah ini menunjukkan makna dari suatu makna, diserupakan dengan Kalimat Huruf yang juga menunjukkan karakter demikian, seperti Kalimat Huruf  ما Nafi untuk meniadakan sesuatu, لا Nahi untuk mencegah sesuatu, ليت Tamanni untuk mehayalkan sesuatu, dan لعل Taroji untuk mengharap sesuatu, dan lain-lain. Contoh:

أَتُتْرَكُونَ فِي مَا هَاهُنَا آمِنِينَ

Adakah kamu akan dibiarkan tinggal disini (di negeri kamu ini) dengan aman
Keserupaan pada Kalimat Huruf bangsa Niyabah/pengganti Fi’il
Yaitu semua jenis “Isim Fi’il” atau Kalimah Isim yang beramal seperti amal Kalimah Fi’il beserta bebas dari bekas ‘Amil, yang demikian adalah seperti Kalimat Huruf. Contoh:

هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ لِمَا تُوعَدُونَ

jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu itu

دَرَاكِ زَيْدًا

Temukan Zaid!
Lafazh دراك “Darooki” pada contoh ini adalah Isim Mabni (Mabni Kasroh) karena serupa dengan Kalimah Huruf pada faktor Niyabah. disebutkan dalam Bait: بلا تأثر “yang tanpa dibekasi amil” atau mengamal I’rob tanpa bisa diamali I’rob. Adalah untuk membedakan dengan Isim yang beramal seperti Kalimat Fi’il tapi ada bekas Amil. Contoh:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa!

ضَرْبًا زَيْدًا

Pukullah Zaid!
Lafadz ضربا “Dhorban” adalah Isim masdar yang dinashobkan oleh ‘Amil yaitu Kalimat Fi’il yang dibuang, menggantikan tugas Kalimat Fi’il اضرب “Idhrib!” pukullah!. Berbeda dengan lafadz دراك “Darooki” sekalipun dikatakan pengganti tugas Kalimat Fi’il أدرك “Adrik!” temukan! Tapi ia mandiri tanpa ada pembekasan ‘Amil.
Walhasil dari apa yang tersirat dari Bait Syair Mushannif: bahwa Masdar dan Isim Fi’il bersekutu dalam hal sama-sama menggantikan tugas Kalimat Fi’il. Perbedaannya adalah: Masdar ada bekas ‘Amil, dihukumi Mu’rob karena tidak serupa dengan Kalimat Huruf. sedangkan “Isim Fi’il” tidak ada bekas ‘Amil, dihukumi Mabni karena serupa dengan Kalimah Huruf.
Mengenai kemabnian dan masalah khilafiyah yang ada pada Kalimat Isim Fiil ini, akan diterangkan nanti pada Bait-Bait Syair Mushannif secara khusus yaitu pada Bab Isim Fi’il dan Isim Ashwat. Insya Allah.
Keserupaan pada Kalimah Huruf bangsa Iftiqoriy/kebutuhan yang musti.
Maksudnya adalah Isim Maushul seperti الذي dan saudara-saudaranya, musti butuh terhadap jumlah sebagai shilahnya. Sama seperti Kalimah Huruf yang musti butuh kepada kalimat lain. Oleh karena itu Isim Maushul dihukumi Mabni. Disebutkan dalam Bait وكافتقار أصلا “Kebutuhan yang dimustikan” untuk membedakan dengan Kalimah Isim yang Iftiqorinya/karakter kebutuhannya tidak musti. Seperti “Isim Nakirah” yang disifati, butuh terhadap jumlah sebagai sifatnya, namun  kebutuhannya itu tidak sampai pada kategori lazim atau musti. Contoh:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلاَرْضِ جَمِيعًا

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
Kesimpulan dari dua Bait di atas, bahwa Isim Mabni ada enam bab: ISIM DHOMIR, ISIM SYARAT, ISIM ISTIFHAM, ISIM ISYARAH, ISIM FI’IL dan ISIM MAUSHUL.


Bait 18:

وَمُعْرَبُ الأَسْمَاءِ مَا قَدْ سَلِمَا ¤ مِنْ شَبَهِ الْحَرْفِ كَأَرْضٍ وَسُمَا

Adapun Mu’robnya Kalimah-kalimah Isim, adalah Isim yang benar-benar selamat dari serupa Kalimah Huruf seperi contoh: “Ardhin” dan “Sumaa”.

Bait ini menerangkan bahwa Isim Mu’rob berlawanan dengan Isim Mabni, artinya: dikatakan Isim Mu’rob karena tidak ada keserupaan dengan Kalimah Huruf, baik Isim Mu’rob itu Shahih akhir tidak ada huruf illat seperti أَرْض, (Ardhin : Bumi) atau Mu’tal yang diakhiri dengan huruf illat seperti سُمَا (Sumaa : Nama, salah satu bahasa dari kata ٌاسْم), juga Isim Mu’rob itu ada yang “Mutamakkin Amkan” pantas tanwin dan mungkin (Isim Munshorif) seperti ُزَيْد , عَمْرٌو dan ada yang “Mutamakkin Ghair Amkan” pantas tanwin tapi tidak mungkin (Isim tidak Munshorif) seperti ُأَحْمَدُ , مَسَاجِدُ, مَصَابِيْح . Sedangkan Isim Mabni disebut “Ghairu Mutamakkin” sama sekali tidak pantas tanwin.
Lanjut Yuuk.....

Bait 12-13-14: Pembagian Kalimah Huruf dan Kalimah Fi’il serta ciri-cirinya.

Jumat, 11 Januari 2013 | 0 komentar


سِوَاهُمَا الْحَرْفُ كَهَلْ وَفِي وَلَمْ ¤ فِعْـــلٌ مُـضَــارِعٌ يَلِي لَمْ كَـيَشمْ

Selain keduanya (ciri Isim dan Fi’il) dinamaan Kalimah Huruf, seperti lafadz Hal, Fi, dan Lam. Ciri Fi’il Mudhori’ adalah dapat mengiringi Lam, seperti lafadz Lam Yasyam.

وَمَاضِيَ الأَفْعَالِ بِالتَّا مِزْ وَسِمْ ¤ بِالنُّـــوْنِ فِعْلَ الأَمْرِ إِنْ أَمْرٌ فُهِمْ

Dan untuk ciri Fi’il Madhi, bedakanlah olehmu! dengan tanda Ta’. Dan namakanlah Fi’il Amar! dengan tanda Nun Taukid (sebagi cirinya) apabila Kalimah itu menunjukkan kata perintah.

وَالأَمْرُ إِنْ لَمْ يَكُ لِلنّوْنِ مَحَلْ ¤ فِيْهِ هُوَ اسْمٌ نَحْوُ صَهْ وَحَيَّهَلْ

Kata perintah jika tidak dapat menerima tempat untuk Nun Taukid, maka kata perintah tersebut dikategorikan Isim, seperti Shah! dan Hayyahal!

Pembagian Kalimah Huruf dan Ciri-Cirinya

Kalimah Huruf dapat dibedakan dengan Kalimah-Kalimah yang lain, yaitu Kalimat selain yang dapat menerima tanda Kalimah Isim dan tanda Kalimat Fi’il, atau Kalimat yang tidak bisa menerima tanda-tanda Kalimat Isim dan Fi’il. Kemudian dicontohkannya dengan Lafad هل, في, dan لم , ketiga contoh Kalimat Huruf tsb menunjukkan penjelasan bahwa Kalimat Huruf terbagi menjadi dua:
  • Kalimah Huruf Ghair Mukhtash (Tidak Khusus), bisa masuk pada Kalimat Isim, juga bisa masuk pada Kalimat Fi’il. Contoh هل :

هَلْ زَيْدٌ قَائِمٌ وَهَلْ قَامَ زَيْدٌ

Apakah Zaid orang yg berdiri? Dan apakah Zaid telah berdiri?
Lafadz “HAL” yang pertama masuk pada Kalimat Isim dan “HAL” yang kedua masuk pada Kalimat Fi’il.
  • Kalimat Huruf Mukhtash (Khusus), khusus masuk pada Kalimat Isim contoh في, dan khusus masuk pada Kalimat Fiil contoh لم :

لَمْ يَقُمْ زَيْدٌ فِي الدَّارِ

Zaid tidak berdiri di dalam Rumah.

Pembagian Kalimah Fi’il dan Ciri-Cirinya

Bait diatas juga menenerangkan bahwa Kalimah Fi’il terbagi menjai Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’ dan Fi’il Amar berikut ciri masing-masing.
  • Dikatakan Fi’il Mudhori apabila pantas dimasuki لم  contoh:

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
  • Dikatakan Fi’il Madhi apabila pantas dimasuki Ta’ Fa’il dan Ta’ Ta’nits Sakinah contoh:

قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي

Balqis berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku”
  • Dikatakan Fi’il Amar apabila bentuknya menunjukkan perintah dan pantas menerima Nun Taukid contoh:

أَكْرِمَنَّ الْمِسْكِين

Sungguh hormatilah oranga miskin !
Apabila ada kalimah yang menunjukkan kata perintah tapi tidak pantas menerima Nun Taukid, maka kalimah tersebut digolongkan “Isim Fi’il” seperti lafadz حيهل menyuruh terima dan lafadz صه menyuruh diam, Contoh:

صَهْ إذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ

Diamlah ! jika orang lain berbicara
صه dan حيهل keduanya disebut kalimat Isim sekalipun menunjukkan tanda perintah, perbedaannya adalah dalam hal tidak bisanya menerima Nun Taukid. Oleh karena itu tidak bisa dilafadzkan صهن atau حيهلن
Lanjut Yuuk.....

Bait 11: Tanda Kalimat Fi'il

| 0 komentar


بِتَا فَعَلْتَ وَأَتَتْ وَيَا افْعَلِي ¤ وَنُوْنِ أَقْبِلَنَّ فِعْـــلٌ يَنْجَلِي

Dengan tanda Ta’ pada lafadz Fa’alta dan lafadz Atat, dan Ya’ pada lafadz If’ali, dan Nun pada Lafadz Aqbilanna, Kalimah Fi’il menjadi jelas.
Bait ini menjelaskan bahwa Kalimat Fi’il dibedakan dari Kalimah Isim dan Kalimah Huruf, dengan beberapa tanda-tanda pengenalnya sebagaimana disebutkan dalam bait syair, yaitu:

Ta’ Fail

Ta’ dalam contoh فَعَلْتَ dimaksudkan adalah Ta’ Fail mancakup:
  • Ta’ Fail untuk Mutakallim, Ta’ berharkat Dhommah contoh:

ضَرَبْتُ زَيْداً

Aku memukul Zaid.
  • Ta’ Fail untuk Mukhatab, Ta’ berharkat Fathah contoh:

ضَرَبْتَ زَيْداً

Engkau (seorang laki-laki) memukul Zaid.
  • Ta’ Fail untuk Mukhatabah, Ta’ berharkat Kasroh contoh:

ضَرَبْتِ زَيْداً

Engkau (seorang perempuan ) memukul Zaid.

Ta’ Ta’nits Sukun

Ta’ dalam contoh lafadz اَتَتْ Maksudnya adalah Ta’ Ta’nits yang Sukun. Contoh:

ضَرَبَتْ زَيْداً

Dia (seorang perempuan) memukul Zaid.
Menyebut  Ta’ Ta’nits Sukun untuk membedakan dengan Ta’ Ta’nits yang tidak sukun yang bisa masuk kepada Kalimat Isim dan Kalimat Hururf
  • Bisa masuk pada Kalimat Isim contoh:

هِيَ مُسْلِمَةٌ

Dia seorang Muslimah.
  • Bisa masuk kepada kalimat Huruf contoh:

وَلاَتَ حِينَ مَنَاصٍ

Ketika itu tidak ada tempat pelarian.

Ya’ Fa’il

Ya’ dalam contoh lafadz افْعَلِيْ dimaksudkan adalah Ya’ Fail mancakup:
  • Ya’ Fa’il pada Fi’il Amar. Contoh:

اضْرِبِيْ

Pukullah wahai seorang perempuan!
  • Ya’ Fa’il pada Fi’il Mudhori’, contoh:

تَضْرِبِيْنَ زَيْداً

Engkau (seorang perempuan) akan memukul Zaid.
Menyebut Ya’ If’aliy atau Ya’ Fail, dan tidak menyebut Ya’ Dhomir dikarenakan termasuk Ya’ Dhomir Mutakallim yang tidak Khusus masuk kepada Fi’il tapi bisa masuk kepada semua Kalimat contoh:

سَأَلَنِيْ اِبْنِيْ عَنِّيْ

Anakku menanyaiku tentang aku.

Nun Taukid

Nun dalam contoh lafadz أقْبِلَنَّ dimaksudkan adalah Nun Taukid mancakup:
  • Nun Taukid Khofifah tanpa Tansydid contoh:

لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ

Sungguh akan Kami tarik ubun-ubunnya.
  • Nun Taukid Tsaqilah memakai Tansydid contoh:

لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ

Sunggah kami akan mengeluarkanmu wahai Syu’aib.
Lanjut Yuuk.....

Bait 10. Tentang Tanda Isim dll.

| 0 komentar


بِالجَرِّ وَالتّنْوِيْنِ وَالنِّدَا وَاَلْ ¤ وَمُسْنَدٍ لِلإسْمِ تَمْيِيْزٌ حَصَلْ

Dengan sebab Jar, Tanwin, Nida’, Al, dan Musnad, tanda pembeda untuk Kalimat Isim menjadi berhasil.
Nadzom Alfiyah
Pada Bait ini, Mushannif menyebutkan tentang Tanda-tanda Kalimat Isim (Kata Benda). Sebagai ciri-cirinya untuk membedakan dengan Kalimat yang lain (Kalimat Fi’il/Kata Kerja dan Kalimat Huruf/Kata Tugas). Diantaranya adalah: Jar, Tanwin, Nida’, Al (Alif dan Lam) dan Musnad.

Jarr جر

Tanda Kalimat Isim yang pertama adalah Jar, mencakup: Jar sebab Harf, Jar sebab Idhafah dan Jar sebab Tabi’. Contoh:

مَرَرْتُ بغُلاَمِ زَيْدٍ الفَاضِلِ

Aku berjumpa dengan Anak Lelakinya Zaid yang baik itu.
Lafadz غلام dikatakan Jar sebab Harf (dijarkan oleh Kalimah Huruf), Lafadz زيد dikatakan Jar sebab Idhafah (menjadi Mudhaf Ilaih), dan Lafadz الفاضل dikatakan Jar sebab Tabi’ (menjadi Na’at/Sifat). Hal ini menunjukkan bahwa perkataan Mushannif lebih mencakup dari Qaul lain yang mengatakan bahwa tanda Kalimat Isim sebab Huruf Jarr, karena ini tidak mengarah kepada pengertian Jar sebab Idhafah dan Jar sebab Tabi’.

Tanwin تنوين

Tanda Kalimat Isim yang kedua adalah Tanwin. Tanwin adalah masdar dari Lafadz Nawwana yang artinya memberi Nun secara bunyinya bukan tulisannya. Sebagai tanda baca yang biasanya ditulis dobel ( اً-اٍ-اٌ ). Di dalam Ilmu Nahwu, Tanwin terbagi empat macam:
  • Tanwin Tamkin: yaitu Tanwin standar yang pantas disematkan kepada Kalimat-kalimat Isim yang Mu’rab selain Jamak Mu’annats Salim dan Isim yang seperti lafadz جوار dan غواش (ada pembagian khusus). Contoh: زيد dan رجل di dalam contoh:

جَاءَ زَيْدٌ هُوَ رَجُلٌ

Zaid telah datang dia seorang laki-laki
  • Tanwin Tankir: yaitu Tanwin penakirah yang pantas disematkan kepada Kalimat-kalimat Isim Mabni sebagai pembeda antara Ma’rifahnya dan Nakirahnya. Seperti Sibawaeh sang Imam Nahwu (yang Makrifah) dengan Sibawaeh yang lain (yang Nakirah). Contoh:

مَرَرْتُ بِسِبَوَيْهِ وَبِسِبَوَيْهٍ آخَرَ

Aku telah berjumpa dengan Sibawaeh (yang Imam Nahwu) dan Sibawaeh yang lain.


  • Tanwin Muqabalah: yaitu Tanwin hadapan yang pantas disematkan kepada Isim Jamak Mu’annats Salim (Jamak Salim untuk perempuan). Karena statusnya sebagai hadapan Nun dari Jamak Mudzakkar Salimnya (Jamak Salim untuk laki-laki). Contoh:

أفْلَحَ مُسْلِمُوْنَ وَمُسْلِمَاتٌ

Muslimin dan Muslimat telah beruntung.


  • Tanwin ‘Iwadh: atau Tanwin Pengganti, ada tiga macam:
    ◊ Tanwin Pengganti Jumlah: yaitu Tanwin yang pantas disematkan kepada Lafadz إذ sebagai pengganti dari Jumlah sesudahnya. Contoh Firman Allah:

وَأنْتُمْ حِيْنَئِذٍ تَنْظًرُوْنَ

Kalian ketika itu sedang melihat.
Maksudnya ketika nyawa sampai di kerongkongan. Jumlah kalimat ini dihilangkan dengan mendatangkan Tanwin sebagai penggantinya.
◊  Tanwin Pengganti Kalimah Isim: yaitu Tanwin yang pantas disematkan kepada Lafadz كل sebagai pengganti dari Mudhaf Ilaihnya. Contoh:

كَلٌّ قَائِمٌ

Semua dapat berdiri.
Maksudnya Semua manusia dapat berdiri. Kata manusia sebagai Mudhaf Iliahnya dihilangkan dan didatangkanlah Tanwin sebagai penggantinya.
◊  Tanwin Pengganti Huruf: yaitu Tanwin yang pantas disematkan kepada lafadz جوار dan غواش dan lain-lain sejenisnya, pada keadaan I’rab Rafa’ dan Jarrnya. Contoh:

هَؤُلاَءِ جَوَارٍ. وَمَرَرْتُ بِجَوَارٍ

Mereka itu anak-anak muda. Aku berjumpa dengan anak-anak muda.
Pada kedua  lafadz جوار asal bentuknya جواري kemudian Huruf Ya’ nya dibuang didatangkanlah Tanwin sebagai penggantinya.
Pembagian macam-macam Tanwin yang telah disebutkan di atas, merupakan Tanwin yang khusus untuk tanda Kalimat Isim. Itulah yang dmaksudkan dari kata Tanwin dalam Bait tsb, yaitu Tanwin Tamkin, Tanwin Tankir, Tanwin Muqabalah dan Tanwin ‘Iwadh.
Adapun Tanwin Tarannum/Taronnum dan Tanwin Ghali, yaitu Tanwin yang pantas disematkan kepada Qofiyah atau kesamaan bunyi huruf akhir dalam bait-bait syair Bahasa Arab. Tidak dikhususkan untuk Kalimat Isim saja, tapi bisa digunakan untuk Kalimat Fi’il dan juga untuk Kalimat Harf.

Nida’ نداء

Tanda Kalimat Isim yang ketiga adalah Nida’. Yaitu memanggil dengan menggunakan salah satu kata panggil atau Huruf Nida’ berupa يا dan saudara-saudaranya. Huruf Nida dikhususkan kepada Kalimat Isim karena Kalimat yang jatuh sesudah Huruf Nida’ (Munada) statusnya sebagai Maf’ul Bih. Sedangkan Maf’ul Bih hanya terjadi kepada Kalimat Isim saja. Contoh:

يَا رَسُوْلَ اللهِ

Wahai Utusan Allah.

AL أل

Tanda Kalimat Isim yang keempat berupa AL أل atau Alif dan Lam. Yaitu AL yang fungsinya untuk mema’rifatkan dan AL Zaidah. Contoh:

رَجَعَ الرَجُلُ مِنَ المَكَّةَ

Orang laki-laki itu telah pulang dari kota Mekkah.
AL pada Lafadz الرَجُلُ dinamakan AL Ma’rifat, sedang AL pada Lafadz المَكَّةَ dinamakan AL Zaidah. Sedangkan AL yang selain disebut di atas, tidak khusus masuk kepada Kalimat Isim. seperti AL Isim Maushul yang bisa masuk kepada Kalimat Fi’il Mudhori’, dan AL Huruf Istifham yang bisa masuk kepada Fi’il Madhi.

Musnad  مسند

Tanda Kalimat Isim yang kelima adalah Musnad. Artinya yang disandar atau menurut Istilah yang  dihukumi dengan suatu hukum. Contoh:

قَاَمَ زَيْدٌ وَ زَيْدٌ قَائِمٌ

Zaid telah berdiri dan Zaid adalah orang yang berdiri.
Kedua Lafadz زيد pada contoh di atas merupakan Musnad atau yang dihukumi dengan suatu hukum, yaitu hukum berdiri.  Hukum berdiri pada lafadz Zaid yang pertama adalah Kata Kerja dam Hukum berdiri untuk Lafadz Zaid yang kedua adalah Khabar.
Lanjut Yuuk.....

Bait 8-9. Pengertia Kalam, Kalim, Kalimat dan Qaul

| 2komentar


الْكَلاَمُ وَمَا يَتَألَّفُ مِنْهُ

Bab Kalam dan Sesuatu yang Kalam tersusun darinya

كَلاَمُــنَا لَفْــظٌ مُفِيْدٌ كَاسْــتَقِمْ ¤ وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمْ

Kalam (menurut) kami (Ulama Nahwu) adalah lafadz yang memberi pengertian. Seperti lafadz “Istaqim!”. Isim, Fi’il dan Huruf adalah (tiga personil) dinamakan Kalim

وَاحِدُهُ كَلِمَةٌ وَالْقَوْلُ عَمْ ¤ وَكَلْمَةٌ بِهَا كَلاَمٌ قَدْ يُؤمْ

Tiap satu dari (personil Kalim) dinamakan Kalimat. Adapun Qaul adalah umum. Dan dengan menyebut Kalimat terkadang dimaksudkan adalah Kalam

KALAM

Definisi Kalam menurut Istilah Ulama Nahwu adalah Sebutan untuk Lafadz yang memberi pengertian satu faedah yaitu baiknya diam. Sehingga yang berkata dan yang mendengar mengerti tanpa timbul keiskalan.
  • Lafadz adalah nama jenis yang mencakup Kalam, Kalim, atau Kalimat, termasuk yang Muhmal (tidak biasa dipakai) ataupun yang Musta’mal (biasa dipakai) contoh perkataan Muhmal: دَيْزٌ Daizun, tidak mempunyai arti. Contoh perkataan Musta’mal عَمْرٌو ‘Amrun, ‘Amr nama orang.
  • Mufid (yang memberi pengertian) untuk mengeluarkan Lafdz yang Muhmal, atau hanya satu Kalimat, atau Kalim yang tersusun dari tiga kalimat atau lebih tapi tidak memberi pengertian faedah baiknya diam, seperti Lafadz: اِنْ قَامَ زَيْدٌ Apabila Zaid berdiri.
Susunan Kalam pada dasarnya Cuma ada dua: 1. ISIM + ISIM, 2. FI’IL + ISIM. Contoh pertama: زيد قائم Zaid orang yg berdiri. Contoh kedua قام زيد Zaid telah berdiri. Sebagaimana contoh Kalam yang disebutkan oleh Mushannif pada baris baitnya, yaitu lafadz استقم ISTAQIM! Artinya: berdirilah! Pada lafadz ini terdiri dari Fiil ‘Amar dan Isim Fa’il berupa Dhomir Mustatir (kata ganti yang disimpan) FI’IL + ISIM takdirnya adalah استقم أنت ISTAQIM ANTA, artinya: berdirilah kamu! maka contoh ini memenuhi criteria untuk disebut Kalam yaitu lafadz yang memberi pengertian suatu faidah. Sepertinya Mushannif mendefinisikan kalam pada bait syairnya sebagai berikut: Kalam adalah Lafadz yang memberi pengertian suatu faidah seperti faidahnya lafadz استقم.
Bab Kalam Ibnu Aqil

KALIM

Adalah nama jenis yang setiap satu bagiannya disebut kalimat, yaitu: Isim, Fi’il dan Huruf. Jika Kalimat itu menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri tanpa terikat waktu, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT ISIM. Jika Kalimat itu menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri dengan menyertai waktu, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT FIIL. Jika Kalimat itu tidak menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri, melainkan kepada yang lainnya, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT HURUF. Walhasil Kalim dalam Ilmu Nahwu adalah susunan dari tiga kalimat tsb atau lebih, baik berfaidah ataupun tidak misal: إن قام زيد jika Zaid telah berdiri.

KALIMAT

Adalah lafadz yang mempunyai satu makna tunggal yang biasa dipakai. Keluar dari definisi Kalimat adalah lafadz yang tidak biasa dipakai semisal دَيْزٌ Daizun. Juga keluar dari definisi Kalimat yaitu lafadz yang biasa dipakai tapi tidak menunjukkan satu makna, semisal Kalam.

QAUL

Adalah mengumumi semua, maksudnya termasuk Qaul adalah Kalam, Kalim juga Kalimat. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa asal mula pemakaian Qaul untuk Lafadz yang mufrad (tunggal).
Selanjutnya Mushannif menerangkan bahwa menyebut Kalimat terkadang yang dimaksudkan adalah kalam. Seperti lafadz لا إله إلا الله Orang Arab menyebut Kalimat Ikhlash atau Kalimat Tahlil.
Sebutan Kalam dan Kalim, terkadang keduanya singkron saling mencocoki satu sama lain, dan terkadang tidak. Contoh yang mencocoki keduanya: قد قام زيد Zaid benar-benar telah berdiri. contoh tersebut dinamakan Kalam karena memberi pengertian, mempunyai faidah baiknya diam. Dan juga dinamakan Kalim karena tersusun dari ketiga personil Kalimat. Contoh hanya disebut Kalim: إن قام زيد Apabila Zaid berdiri. Dan contoh hanya disebut Kalam: زيد قائم Zaid orang yang berdiri.
Lanjut Yuuk.....

Muqaddimah Alfiyah

| 2komentar

 

المقدمة


MUQADDIMAH


قَـالَ مُحَمَّد هُوَ ابنُ مَـالِكِ ¤ أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

Muhammad Ibnu Malik berkata: Aku memuji kepada Allah Tuhanku sebaik-baiknya Dzat Yang Maha Memiliki.

مُصَلِّيَاً عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى ¤ وَآلِـــهِ الْمُسْــتَكْمِلِينَ الْشَّــرَفَا

Dengan bersholawat atas Nabi terpilih dan atas keluarganya yang mencapai derajat kemulyaan.

وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ

Juga aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu

تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ

Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat menjabar perihal detail dengan janji yang cepat.

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

Kitab ini mudah menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyahnya Ibnu Mu’thi..

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

Beliau lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal. Beliau behak atas sanjunganku yang indah..

وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat..

**********************

Lanjut Yuuk.....

Jangan Lupa Join Ya Sob....

Untuk menjalin Silaturahim diniatkan Lillaahi Ta'ala...

Salam Penulis :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Blog ini sengaja saya buat sebagai salah satu media silaturahim dan agar dapat saling bertukar fikiran (sharing) tentang ilmu yang kita miliki... Apabila terdapat kata-kata yang kasar dan terlihat kurang sopan, Saya minta ma'af yang sebesar-besarnya... semoga bermanfa'at dan kita bisa mengamalkan ilmu yang kita miliki... "Wallaahu A'lam Bish_Shawaab..." وَاَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ