Apakah Semua Hal yang Baru itu Bid'ah..???
Dalam kesejarahannya, sekian abad Kaum muslimin Indonesia hidup rukun penuh toleransi dalam bingkai Syari’at Islam yang sempurna, adil dan kontekstual. Mereka saling menghargai, saling membantu dan saling menguatkan. Sejarah indah ini pernah dioperankan oleh beberapa tokoh yang akhirnya kini lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo.
Dalam kesejarahannya, sekian abad Kaum muslimin Indonesia hidup rukun penuh toleransi dalam bingkai Syari’at Islam yang sempurna, adil dan kontekstual. Mereka saling menghargai, saling membantu dan saling menguatkan. Sejarah indah ini pernah dioperankan oleh beberapa tokoh yang akhirnya kini lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo.
Kenangan indah itu kini terkoyak oleh arogansi intelektual yang membonceng semboyan “Tajdid” (pembaharuan)
Islam. Bahkan disusul dengan hadirnya suatu masa dimana gerakan Tajdid
menebar teror bid’ah, khurofat bahkan syirik pada kemapanan tradisi yang
selama ini telah berjalan dengan baik. Akhirnya muncullah permusuhan
dan persaingan tidak sehat antar kelompok kaum Muslimin itu sendiri.
Banyak yang melatarbelakangi munculnya situasi dan kondisi seperti ini.
Salah satunya antara lain adalah pemahaman terhadap konsep bid’ah.
Perihal klaim bid’ah satu kelompok terhadaplainya biasana,
mengkait-kaitkan dengan Hadits Nabi, yang mana Beliau bersabda:
وَشَرُّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَاةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Sejelek-jeleknya
perkara adalah perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah
bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat didalam
neraka.”
Hadits ini dikalangan ulama telah menimbulkan perbedaan penafsiran. Bagi mereka yang berpandangan harfiyah (tekstual)
langsung saja menyimpulkan bahwa setiap perkara yang baru yang tidak
ada perintahnya secara langsung baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits dan
juga tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw, adalah bid’ah yang
sesat (bid’ah dlolalah) walaupun dipandang baik oleh kaum muslimin. Sedangkan bagi mereka yang berpandangan luas (kontekstual), yakni
mereaka yang tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan dari suatu dalil
melainkan setelah mengaitkannya dengan beberapa dalil-dalil yang lain,
baik secara tersurat maupun tersirat, mereka ini tidak sekaku kelompok
awal tadi.
Madzhab tekstual sangat ketat dan kaku dalam mengukur sebuah amaliah
ibadah. Bagi madzhab tekstual, walaupun sesuatu perbuatan yang
dikerjakan itu hal yang baik tatapi tidak ada petunjuk atau tuntuna dari
Rasulullah Saw, maka amaliah semacam ini dianggap bid’ahdlolalah.
Contoh : Membaca al-Qur’an dengan niat pahala bacaannya dihadiahkan kepada mayit. Kita tahu bahwa membaca al-Qur’an adalah ibadah, Tapi “menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit”, dalam
pandangan mereka, adalah tatacara yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah Saw. Maka praktek ibadah seperti ini disebut bid’ah.
Sebaliknya medzhab kedua (kontekstual), mereka
tidak serta-merta menyimpulkan bahwa setiap yang baru, yang tidak ada
petunjuk langsung secara tekstual dari Rasulullah Saw adalah bid’ah yang
sesat. Akan tetapi bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru
yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Dan
itulah yang oleh sebagian ulama’ dikatakan sebagai bid’ah sayyi’ah atau
bid’ah yang jelek. Adapaun perkara-perkara baru yang tidak bertentangan
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah bahkan kalau ditelusuri justru
bersesuaian dengan ruh syari’at, makatidaklah ia dikatakan sebagai
bid’ah yang sesat sebagaimana disebutkan dalam hadits itu melainkan bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
Untuk pencerahan pemahaman tentang bid’ah dan pembagian bid’ah dalam
beberapa macam, perlu saya kutip beberapa pendapat ulama’ yang memang
pakar dalam bidang ini.
1. Imam Syafi’i. Pandangan
beliau tentang masalah ini terdapat dua riwayat yang menerangkannya.
Pertama, riwayat dari Abu Nu’aim, dimana Imam Syafi’i berkata:
الْبِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَدْمُوْمَةٌ فِيْمَا
وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَلَفَهَا فَهُوَ مَدْمُوْمٌ
“Bid’ah
itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang
sesuai dengan Sunnah maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang
menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela.”
Kedua , riwayat melalui jalur Imam Al-Baihaqi dalam Manaqib Imam Syafi’i menulis :
الْمُحْدَثَاةُ
ضَرْبَانِ مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَثَرًا أَوْ
إِجْمَاعًا فَهذِهِ بِدْعَةُ الضَّلَالَةِ وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ
لَا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذلِكَ فَهذِهِ بِدْعَةُ غَيْرُ مَدْمُوْمَةٍ
“Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama perkara-perkara baru yang menyalahi
Al-Qur’an, Hadits, Atsar, atau Ijma’. Inilah bid’ah dlalalah. Kedua
adlah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak
bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah
yang seperti ini tidaklah tercela”.
2. Syaikh Al-Hadidi dalam kitab Syarah Najhul Balaghah, eliau berkata sebagai berikut:
“Lafadz
bid’ah dipakai untuk dua pngertian : 1. Sesuatu yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti puasa pada Hari Raya Qurban dan
pada hari-hari tasyriq. Perbuatan tersebut walaupun puasa akan tetapi
dia terlarang dilakukan. 2. Sesuatu yang tidak ada keterangan nash pada
padanya melainkan didiamkan oleh syara’, lalu dilakukan oleh kaum
muslimin sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Dan apa yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad Saw, bahwa “tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang
sesat ada dalam neraka” itu dimaksudkan untuk bid’ah sesuai dengan
pengertiannya yang pertama. Sedangkan perkataan Umar ra, dalam hal
shalat tarawih: “Sesungguhnya shalat tarawih dengan berjama’ah itu
adalah bid’ah dan sebaik-baik bid’ah adalah ini” dimaksudkan untuk
bid’ah berdasarkan pengertian yang kedua”.
3. Imam Nawawi rahimahullah. Beliau berkata dalam Syarah Muslim jilid IV / 154 sebagai berikut :
“Sabda Nabi : Setiap bid’ah itu sesat” adalah hadits ‘Am Makhshush (Umum
tetapi Dikhususkan). Yang dimaksud sesat disitu adalah kebanyakan
bid’ah. Para ahli bahasa berkata: “Bid’ah adalah segala sesuatu yang
dikerjakan dengan tanpa ada contoh yang mendahuluinya. Para ulama’
berkata, bid’ah itu ada lima macam : Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, dan Mubah. Termasuk bid’ah yang wajib adalah
menyusun dalil-dalil ulama’ Mutakallimin untuk menolak mereka yang
melakukan penyimpangan aqidah dan para pelaku bid’ah dan sejenisnya.
Termasuk Mandub (dianjurkan) adalah menyusun kitab-kitab ilmu,
membangun madrasah dan tempat-tempat pengajian dan lain-lainnya.
Termasuk bid’ah Mubah adalah memperbanyak berbagai macam makanan dan lainnya. Sedangkan bid’ah yang Haram dan Makruh sudah jelas. Masalah ini telah aku jelaskan dengan dalil-dalilnya dalam kitab “Tahdzibul Asma’ Was-Shifat”.
Jadi bukti bahwa hadits Nabi diatas termasuk hadits yang ‘Am makhshush dan
begitu juga dengan hadits-hadits yang serupa dengannya, adalah apa yang
dilakukan Umar bin Khattab ra, dalam hal shalat tarawih yang dilakukan
secara berjama’ah : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni Shalat Tarawih dengan berjama’ah).” Keadaan hadits itu sebagai hadits yang ‘am makhshush tidaklah tercegah oleh sabda Nabi “Kullu bid’atin dlolalah” yang diperkuat oleh kata “Kullu” ini.
Sama halnya firman Allah : “Tudammiru kullu syai’in” (Angin topan itu menghancurkan segala sesuatu). Pada ayat ini walaupun ada lafazh “kullu” (segala/ setiap/ semua) yang menunjuk makna umum tapi tetap dimasuki oleh takhshish (pengkhususan)
karena yang dihancurkan oleh angin topan itu memang bukan segala
sesuatu. Terbukti langit, bumi dan gunung-gunung tidak ikut hancur.
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar. Beliau berkata dalam Fathul Barri juz: IV / 318 sebagai berikut :
“Pada
asalnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada
contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk
yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat
bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap bak
menurut syara’ maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara
sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’ maka dia menjadi jelek. Jika
tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah
itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima.
Dari beberapa penjelasan ulama’ diatas dapatlah diambil kesimpulan
bahwa tidak semua perkara baru yang kita diadakan tanpa ada petunjuk
atau contoh dari Rasulullah Saw, otomatis menjadi bid’ah yang sesat. Hal
ini sebagaimana yang akan dibuktikan nanti dengan banyaknya
perkara-perkara baru yang diprakasai oleh para sahabat dibenarkan dan
disetujui oleh Nabi Saw. Padahal beliau sendiri tidak pernah melakukan
apalagi memerintahkannya.
Bid’ah atau sesuatu yang baru hanyalah bisa dihukumi sebagai bid’ah
yang sesat manakala ia termasuk diantara prakarsa-prakarsa yang jelek (Sayyi’ah) yaitu
apabila dia bertentangan dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Didalam al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 79 ketika Allah
menceritakan kisah Nabi Musa as, dengan Khidhir, Allah berfirman :
أما السّفينة كانت لمساكين يعملون في البحر فأردت أن أعيبها وكان وراءهم مالك يأخذ كل سفينة غصبا
“Adapun
perahu itu, maka dia adalah miliknyaorang-orang miskin yang bermata
pencaharian di lautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang
mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat diatas adalah penjelasan Khidhir kepada Nabi Musa as tentang
sikapnya yang membocorkan beberapa perahu yang ditemuinya. Beliau
menjelaskan bahwa langkah itu sengaja ditempuhnya untuk menyelamatkan
perahu-perahu itu dari tindakan seorang raja yang suka merampas perahu.
Ini menunjukan bahwa tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja
itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Hal ini
terbukti dengan langkah Khidir yang membocorkan perahu milik orang-orang
miskin itu dengan tujuan agar tidak terkesan sebagai perahu sehingga
tidaklah dia akan dirampas oleh raja itu. Dengan kata lain, bahwa
asafinah disitu tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safinah yang
akan dirampas oleh raja melainkan Safinah Hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kulla Safinah (semua perahu).
Pemahaman semacam inilah yang tepat berdasarkan zauq lughawi (sensivitas bahasa) dan qoroo’inul ahwal (indikasi
yang mendahuluinya) yang dalam hal ini adalah sikap Khidir yang
terlebih dahulu membocorkan perahu oran-orang miskin itu agar terkesan
sebagai Safinah Sayyi’ah (perahu yang jelek). Kalau tidak ada
indikasi seperti itu, maka perahu yang akan dirampas oleh raja itu
menjadi umum sifatnya yakni semua perahu, yang baik ataupun yang jelek
(tanpa terkecuali). Dan ini tidak terjadi.
Begitulah juga keadaannya dengan hadits Nabi yang mengatakan : “Setiap bid’ah itu sesat”. Dikarenakan
adanya beberapa keterangan dan restu Nabi atas banyak perkara yang
merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau sendiri tidak pernah
melakukan apalagi memerintahkan, ditambah lagi dengan hadits Nabi : “Orang
yang menggagas suatu kebaikan aklan mendapatkan pahala lantaran
gagasannya itu dan juga pahala orang-orang yang mengikuti gagasan
tersebut”. Maka para ulama’ menarik kesimpulan bahwa bid’ah yang dicap sesat adalah prakarsa-prakaarsa jelek (bid’ah sayyi’ah) yang bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Hadits.
"Wallahu A'lam Bish Shawaab"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar