Meluruskan Pemahaman Bid’ah
Bid’ah merupakan sebuah kata yang tidak asing bagi kita semua. Ia
berhubungan dengan banyak hal dalam islam. Sayangnya, banyak orang belim
memahami makna bid’ah dengan benar. Sehingga, tidak jarang mereka terjebak
dalam perselisihan. Sebenarnya, para ulama’ telah menjelaskan permasalahan ini
dengan jelas, hanya saja kita kurang mempelajarinya. Dalam bab ini akan kami
sampaikan uraian singkat tentang bid’ah, dengan harapan tidak terjadi lagi
salah pemahaman terhadapnya. Semoga Allah membukakan pintu hati kita unuk
mengetahui kebenaran. Aamiin
Dalam kesejarahannya, sekian abad Kaum muslimin Indonesia hidup
rukun penuh toleransi dalam bingkai Syari’at Islam yang sempurna, adil dan
kontekstual. Mereka saling menghargai, saling membantu dan saling menguatkan.
Sejarah indah ini pernah dioperankan oleh beberapa tokoh yang akhirnya kini
lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo.
Kenangan indah itu kini terkoyak
oleh arogansi intelektual yang membonceng semboyan “Tajdid” (pembaharuan)
Islam. Bahkan disusul dengan hadirnya suatu masa dimana gerakan Tajdid menebar
teror bid’ah, khurofat bahkan syirik pada kemapanan tradisi yang selama ini
telah berjalan dengan baik. Akhirnya muncullah permusuhan dan persaingan tidak
sehat antar kelompok kaum Muslimin itu sendiri.
Banyak yang melatarbelakangi
munculnya situasi dan kondisi seperti ini. Salah satunya antara lain adalah
pemahaman terhadap konsep bid’ah. Perihal klaim bid’ah satu kelompok
terhadaplainya biasana, mengkait-kaitkan dengan Hadits Nabi, yang mana Beliau
bersabda:
وَشَرُّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَاةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang
baru. Setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat dan
setiap yang sesat didalam neraka.”
Hadits ini dikalangan ulama telah
menimbulkan perbedaan penafsiran. Bagi mereka yang berpandangan harfiyah (tekstual)
langsung saja menyimpulkan bahwa setiap perkara yang baru yang tidak ada perintahnya
secara langsung baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits dan juga tidak pernah
dikerjakan oleh Rasulullah saw, adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dlolalah) walaupun
dipandang baik oleh kaum muslimin. Sedangkan bagi mereka yang berpandangan luas
(kontekstual), yakni mereaka yang tidak tergesa-gesa mengambil
kesimpulan dari suatu dalil melainkan setelah mengaitkannya dengan beberapa
dalil-dalil yang lain, baik secara tersurat maupun tersirat, mereka ini tidak
sekaku kelompok awal tadi.
Madzhab tekstual sangat ketat dan
kaku dalam mengukur sebuah amaliah ibadah. Bagi madzhab tekstual, walaupun
sesuatu perbuatan yang dikerjakan itu hal yang baik tatapi tidak ada petunjuk
atau tuntuna dari Rasulullah Saw, maka amaliah semacam ini dianggap
bid’ahdlolalah. Contoh : Membaca al-Qur’an dengan niat pahala bacaannya
dihadiahkan kepada mayit. Kita tahu bahwa membaca al-Qur’an adalah
ibadah, Tapi “menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit”, dalam
pandangan mereka, adalah tatacara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah
Saw. Maka praktek ibadah seperti ini disebut bid’ah.
Sebaliknya medzhab kedua (kontekstual),
mereka tidak serta-merta menyimpulkan bahwa setiap yang baru, yang tidak
ada petunjuk langsung secara tekstual dari Rasulullah Saw adalah bid’ah yang
sesat. Akan tetapi bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang
bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Dan itulah yang oleh
sebagian ulama’ dikatakan sebagai bid’ah sayyi’ah atau bid’ah yang
jelek. Adapaun perkara-perkara baru yang tidak bertentangan dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah bahkan kalau ditelusuri justru bersesuaian dengan ruh
syari’at, makatidaklah ia dikatakan sebagai bid’ah yang sesat sebagaimana
disebutkan dalam hadits itu melainkan bid’ah hasanah atau bid’ah yang
baik.
Sebelum mengutip beberapa pendapat
dari para ulama’, saya akan menjelaskan arti bid’ah terlebih dahulu.
Arti
Bid’ah Secara Bahasa
Dalam berbagai kamus bahasa Arab,
kita dapat menemukan arti bid’ah secara bahasa (etimologis) dengan mudah. Dalam
kamus Al-Munjid disebutkan:
الْبِدْعَةُ ج بِدَع : مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ
مِثَالٍ سَابِقٍ
Bid’ah adalah sesuatu yang
diadakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu.[1]
Pada dasarnya, semua kamus bahasa
Arab mengartikan bid’ah secara bahasa sebagai sebuah perkara baru yang diadakan
atau diciptakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu. Penciptaannya disebut
Mubtadi’ atau Mubdi’. Langit dan bumi dapat juga disebut sebagai bid’ah, karena
keduanmya diciptakan oleh Allah swt tanpa adanya contoh terlebih dahulu.
Didalam Al-Qur’an disebutkan :
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah ciptakan langit dan bumi
(tanpa contoh)” (Al-Baqarah, 2:117)
Arti Bid’ah
Secara Istilah Agama (Terminologis)
Sebuah
hadits tidak cukup sebagai dasar untukl menetapkan arti bid’ah. Kita harus
mempelajari semua hadits yang berkaitan dangannya. Tentunya tidak semua orang
memiliki waktu dan pengetahuan yang cukup untuk melakukannya. Alhamdulillah
para ulama telah berusaha keras untuk merumuskan dan menjelaskan segala hal
yang berhubungan dengan bid’ah. Dalam bab ini, kami akan sampaikan beberapa
pendapat para ulama.
Untuk pencerahan pemahaman tentang bid’ah dan pembagian bid’ah
dalam beberapa macam, perlu saya kutip beberapa pendapat ulama’ yang memang
pakar dalam bidang ini.
1.
Imam Syafi’i. Pandangan
beliau tentang masalah ini terdapat dua riwayat yang menerangkannya. Pertama,
riwayat dari Abu Nu’aim, dimana Imam Syafi’i berkata:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ
مَدْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَلَفَهَا
فَهُوَ مَدْمُوْمٌ
“Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah
terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah maka itulah bid’ah
yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela.”
Kedua , riwayat melalui jalur Imam
Al-Baihaqi dalam Manaqib Imam Syafi’i menulis :
الْمُحْدَثَاةُ ضَرْبَانِ مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ
سُنَّةً أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهذِهِ بِدْعَةُ الضَّلَالَةِ وَمَا أُحْدِثَ
مِنَ الْخَيْرِ لَا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذلِكَ فَهذِهِ بِدْعَةُ غَيْرُ
مَدْمُوْمَةٍ
“Perkara-perkara baru itu ada dua
macam. Pertama perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar,
atau Ijma’. Inilah bid’ah dlalalah. Kedua adlah perkara-perkara baru yang
mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang
disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela”.
2.
Syaikh Al-Hadidi dalam
kitab Syarah Najhul Balaghah, eliau berkata sebagai berikut:
“Lafadz bid’ah dipakai untuk dua pngertian : 1. Sesuatu yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti puasa pada Hari Raya Qurban
dan pada hari-hari tasyriq. Perbuatan tersebut walaupun puasa akan tetapi dia
terlarang dilakukan. 2. Sesuatu yang tidak ada keterangan nash pada padanya
melainkan didiamkan oleh syara’, lalu dilakukan oleh kaum muslimin sesudah
wafatnya Rasulullah Saw. Dan apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw,
bahwa “tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat ada dalam neraka” itu
dimaksudkan untuk bid’ah sesuai dengan pengertiannya yang pertama. Sedangkan
perkataan Umar ra, dalam hal shalat tarawih: “Sesungguhnya shalat tarawih
dengan berjama’ah itu adalah bid’ah dan sebaik-baik bid’ah adalah ini”
dimaksudkan untuk bid’ah berdasarkan pengertian yang kedua”.
3.
Imam Nawawi rahimahullah.
Beliau berkata dalam Syarah Muslim jilid IV / 154 sebagai berikut :
“Sabda Nabi : Setiap
bid’ah itu sesat” adalah hadits ‘Am Makhshush (Umum tetapi Dikhususkan).
Yang dimaksud sesat disitu adalah kebanyakan bid’ah. Para ahli bahasa berkata:
“Bid’ah adalah segala sesuatu yang dikerjakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahuluinya. Para ulama’ berkata, bid’ah itu ada lima macam : Wajib, Sunnah,
Haram, Makruh, dan Mubah. Termasuk bid’ah yang wajib adalah menyusun
dalil-dalil ulama’ Mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan
penyimpangan aqidah dan para pelaku bid’ah dan sejenisnya. Termasuk Mandub (dianjurkan)
adalah menyusun kitab-kitab ilmu,
membangun madrasah dan tempat-tempat pengajian dan lain-lainnya. Termasuk
bid’ah Mubah adalah memperbanyak berbagai macam makanan dan lainnya.
Sedangkan bid’ah yang Haram dan Makruh sudah jelas. Masalah ini
telah aku jelaskan dengan dalil-dalilnya dalam kitab “Tahdzibul Asma’
Was-Shifat”.
Jadi bukti bahwa hadits Nabi diatas termasuk hadits yang ‘Am
makhshush dan begitu juga dengan hadits-hadits yang serupa dengannya,
adalah apa yang dilakukan Umar bin Khattab ra, dalam hal shalat tarawih yang
dilakukan secara berjama’ah : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni Shalat
Tarawih dengan berjama’ah).” Keadaan hadits itu sebagai hadits yang ‘am
makhshush tidaklah tercegah oleh sabda Nabi “Kullu bid’atin dlolalah” yang
diperkuat oleh kata “Kullu” ini.
Sama halnya firman Allah : “Tudammiru kullu syai’in” (Angin
topan itu menghancurkan segala sesuatu). Pada ayat ini walaupun ada lafazh “kullu”
(segala/ setiap/ semua) yang menunjuk makna umum tapi tetap dimasuki
oleh takhshish (pengkhususan) karena yang dihancurkan oleh angin topan
itu memang bukan segala sesuatu. Terbukti langit, bumi dan gunung-gunung tidak
ikut hancur.
4.
Al-Hafidz Ibnu Hajar. Beliau
berkata dalam Fathul Barri juz: IV / 318 sebagai berikut :
“Pada asalnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan
tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk
yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa
bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap bak menurut
syara’ maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang
dianggap jelek oleh syara’ maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia
termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum
yang lima.
Dari beberapa penjelasan ulama’
diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa tidak semua perkara baru yang kita
diadakan tanpa ada petunjuk atau contoh dari Rasulullah Saw, otomatis menjadi bid’ah
yang sesat. Hal ini sebagaimana yang akan dibuktikan nanti dengan banyaknya
perkara-perkara baru yang diprakasai oleh para sahabat dibenarkan dan disetujui
oleh Nabi Saw. Padahal beliau sendiri tidak pernah melakukan apalagi
memerintahkannya.
Bid’ah atau sesuatu yang baru
hanyalah bisa dihukumi sebagai bid’ah yang sesat manakala ia termasuk diantara
prakarsa-prakarsa yang jelek (Sayyi’ah) yaitu apabila dia bertentangan
dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Didalam al-Qur’an surat
Al-Kahfi ayat 79 ketika Allah menceritakan kisah Nabi Musa as, dengan Khidhir,
Allah berfirman :
أما السّفينة كانت لمساكين يعملون في البحر فأردت أن أعيبها وكان
وراءهم مالك يأخذ كل سفينة غصبا
“Adapun perahu itu, maka dia adalah
miliknyaorang-orang miskin yang bermata pencaharian di lautan dan aku bertujuan
merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas
semua perahu”.
Ayat diatas adalah penjelasan
Khidhir kepada Nabi Musa as tentang sikapnya yang membocorkan beberapa perahu
yang ditemuinya. Beliau menjelaskan bahwa langkah itu sengaja ditempuhnya untuk
menyelamatkan perahu-perahu itu dari tindakan seorang raja yang suka merampas
perahu. Ini menunjukan bahwa tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja
itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Hal ini terbukti
dengan langkah Khidir yang membocorkan perahu milik orang-orang miskin itu
dengan tujuan agar tidak terkesan sebagai perahu sehingga tidaklah dia akan
dirampas oleh raja itu. Dengan kata lain, bahwa asafinah disitu tidak bersifat
umum dalam arti tidak semua safinah yang akan dirampas oleh raja melainkan Safinah
Hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kulla Safinah (semua
perahu).
Pemahaman semacam inilah yang tepat
berdasarkan zauq lughawi (sensivitas bahasa) dan qoroo’inul ahwal (indikasi
yang mendahuluinya) yang dalam hal ini adalah sikap Khidir yang terlebih dahulu
membocorkan perahu oran-orang miskin itu agar terkesan sebagai Safinah
Sayyi’ah (perahu yang jelek). Kalau tidak ada indikasi seperti itu, maka
perahu yang akan dirampas oleh raja itu menjadi umum sifatnya yakni semua
perahu, yang baik ataupun yang jelek (tanpa terkecuali). Dan ini tidak terjadi.
Begitulah juga keadaannya dengan
hadits Nabi yang mengatakan : “Setiap bid’ah itu sesat”. Dikarenakan
adanya beberapa keterangan dan restu Nabi atas banyak perkara yang merupakan
prakarsa para sahabat sedangkan beliau sendiri tidak pernah melakukan apalagi
memerintahkan, ditambah lagi dengan hadits Nabi : “Orang yang menggagas
suatu kebaikan aklan mendapatkan pahala lantaran gagasannya itu dan juga pahala
orang-orang yang mengikuti gagasan tersebut”. Maka para ulama’ menarik
kesimpulan bahwa bid’ah yang dicap sesat adalah prakarsa-prakaarsa jelek (bid’ah
sayyi’ah) yang bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Hadits.
REFERENSI:
Ø
Abu
Maulana Hakim Al-Ghifari, Hujjah Amaliyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Majelis
Al-Buhuts Wa Al-Dirosat As-Syafi’iyah Pondok Pesantren Miftahul Huda. Ambarawa
Tanggamus, 2007 M.
Ø Novel bin Muhammad Alalydrus, Mana Dalilnya 1, Seputar
Permasalahan Ziarah Kubur, Tawassul, Tahlil. Taman Ilmu.
Semarang-Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar